POLIGAMI DI IRAK

oleh: Murdan, S.HI

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Melihat fenomena unifikasi hukum Islam di beberapa negara Islam, terutama dalam hal hukum perkawinan atau hukum keluarga pada umumnya, sudah menjadi buah bibir disetiap negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam atau negara-negara Islam dibelahan dunia. Sehingga fenomena ini mendapatkan perhatian yang khusus oleh J.N.D. Anderson yang mencatat tentang beberapa sikap atau kecendrungan negara-negara Islam ketika menghadapi dunia modern pada masalah unifikasi dan kodifikasi hukum Islam di negara Islam terutama dalam persoalan hukum keluarga. Anderson kemudian mengklasifikasikan hal ini menjadi 3 (tiga) kategori, yakni: pertama, sistem-sistem yang masih mengaku Syari’ah sebagai dasar fundamental dan menerapkan secara utuh; kedua, sistem yang telah meninggalkan Syari’ah dan menggantikannya dengan sistem hukum sekuler; ketiga, sistem yang melakukan kompromi atau mendialogkan kedua jenis pandangan tersebut.[1]
Ketika negara-negara Islam melakukan suatu unifikasi dan kodifikasi hukum dalam mentransformasi atau mereformasi hukum Islam di suatu negara Islam, terutama dalam hukum keluarga, setidaknya secara umum akan didapatkan dua jenis sikap terhadap cara pembahatuan atau kodifikasi tersebut, pertama, Intra-doctrinal reform artinya tetap merujuk pada konsep fikih konvensional, dengan cara takhyir (memilih pandangan salah satu ulama fikih, termasuk ulama di luar mazhab), dapat pula disebut tarjih. Dan talfik (mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama); kedua, Extra-doctrinal reform, maksudnya pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep fikih konvensional, tetapi dengan melakukan reinterpretasi terhadap nash.[2] Bila kita melihat negara-negara Islam yang menggunakan hukum keluarga dalam konstitusinya, maka kita akan menemukan 3 (tiga) corak peraturan, pertama, negara yang masih menggunakan prodak fikih mazhab tradisional, dalam kategori ini ada Saudi Arabia, Qatar, Yaman, Bahrain dan Kuwait. Kedua, negara yang telah menggunakan hukum undang-undang modern yang dibuat oleh negara itu sendiri, kategori ini ada Turki dan Albania. Ketiga, negara yang melakukan pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam, kategori ini termasuk Mesir, Sudan, Jordan, Syiria, Tunisia, Maroko, Al-geria, Irak, Iran, dan Pakistan.[3] Berangkat dari pengelompokan tersebut terlihat Irak mendapatkan kategori ketiga, dimana kelompok ketiga dikategorikan sebagai negara yang melakukan pembaharuan terhadap hukum Islam.
Dalam hukum keluarga di Irak, diatur juga masalah poligami dimana kasus ini mendapatkan perhatian yang khusus dalam perundang-undangan Irak. Perundang-undangan poligami Irak menarik untuk dikaji, karena merupakan negara Islam yang setengah penduduknya didominasi oleh kalangan Syi’i, namun dalam parlemennya didominasi oleh kalangan Sunni, ada juga  penduduknya yang bermazhab Kurdi Sunni. Sehingga, suatu yang wajar-wajar saja jika di Irak berlaku dua Mazhab besar, Mazhab Ja’fari dan mazhab Hanafi. Jika melihat dari kasus ini tentu merupakan hal yang sangat rumit ketika melakukan pembaharuan hukum Islam, karena masyarakat setempat menganut dua mazhab besar. berbeda halnya dengan beberapa negara-negara muslim lainnya yang kebanyakan menganaut satu mazhab, sehingga pembaharuan hukum lebih mudah. misalnnya negara Indonesia yang mayoritas masyarakatnya menganut mazhab Syafi’iah.[4] 
B.     Rumusan Masalah
Berangkat dari pernyataan di atas tentang kodifikasi hukum keluarga di Irak tentang poligami, maka pada makalah yang singkat ini penulis akan berfokus pada dua  pokok masalah. pertama, bagaimana undang-undang Irak mengatur tentang poligami,?. dan kedua, sejauh mana perbedaan dan persamaan perundang-undangan di Indonesia dengan undang-undang di Irak dalam persoalan poligami?.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Irak dengan Sejarah Peradaban Islam
Kontribusi Irak dalam peradaban Islam sungguh tidak bisa dikejuantahkan lagi adanya, hal ini tercermin dalam buku-buku sejarah peradaban Islam dan sejarah pemikiran dan Historiografi Islam. Irak resmi masuk ke wilayah pemerintahan Islam pada abad pertama Hijriah, yakni berkisar pada tahun 19 H atau 641 M, ketika khalifah Umar Ibnu al-Khaththab melakukan ekspedisi meliternya ke Irak yang dipimpun oleh Syurahbil Ibnu Hasanah dan Sa’ad Ibnu Abi Waqqash pada tahun 14 H bertepatan dengan tahun 635 M. Namun, Islam pertama kali masuk ke wilayah Irak adalah pada tahun 12 H bertepatan dengan 633 M ketikah Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq mengangkat Khalid Ibn Walid dan Mutsanna Ibn Haritsah sebagai panglima perang, kemudian berhasil menaklukkan atau menguasai Hirah dan beberapa kota di Irak, seperti Anbar, Daumatul Jandal dan Faradh.[5]
kontribusi Irak selanjutnya dalam peradaban Islam adalah pada perkembangan politik selanjutnya adalah berdirinya dua Dinasti besar Islam di Irak, hal ini terbukti dengan berdirinya Dinasti Umayyah I dipimpin oleh 14 generasi ke-Khalifahan. kemudian dengan tumbangnya kekuasaan Umayyah oleh Abbasiyyah, kemudian perkembangan sejarah selanjutnya digantikan oleh dinasti Abbasyyah yang dipimpin oleh 37 generasi ke-Khalifahan baik di Irak maupun di luar Irak. Dari sinilah Islam mulai merajai dunia, baik secara administrasi Negara, lembaga-lembaga pendidikan, seni ukir dan tulis, militer, perekonomian, pertanian, kebebasan berfikir dan sosial peradaban lainnya.[6]
Perkembangan seni tulis di Irak berawal dari masa-masa formatif Islam di Irak, yakni pada awal abad ke-2 Hijriah bertepatan dengan tahun 114 H. Seni karya tulis yang pertama ditulis pada masa-masa ini adalah kesejarahan pemerintahan Islam, sejarah peperangan yang langsungkan oleh umat Islam, sejarah suku-suku dan klan Raja Islam di Irak maupun di Arab, sejarah raja-raja Islam dan sejarah perjalanan Islam dari Makkah ke Irak. Hal ini terbukti dengan bermunculannya sejarawan pada masa itu, seperti Abu Amr ibn al-A’la (w.154 H/770 M), Hmmad al-Rawiyah (w. 156 H/774 M), Abu Mikhnaf (w. 157 H/ 774 M), Awanah ibn al-Hakim (w. 147 H/764 M), Syayf ibn Umar al-Asadi at-Tamimi (w. 180 H/796 M), Nashr ibn muzahim (w. 212 H/827 M), al-Haitsam ibn Udi (130-207 H/747-822 M), al-Mad’ini (135-225 H/752-843 M), Abu Ubaydah Ma’mar ibn al-Mutsni al-Taymi (114-211 H), al-Ashma’i (w. Antara 213-217), Abu al-Yaqzhan al-Nassabah (w. 190 H/808 M), Muhmmad ibn al-Sa’ib al-Kalibi (w.146 H/763 M), dan Hasyam ibn Muhammad al-Sa’ib al-Kalibi (w. 204 H/819 M).[7]

B.     Poligami dalam Realitas Sosial
Pristiwa poligami tidak sajak dikenal oleh masyarakat Islam yang secara normatif telah menanamkan legitimasi tersendiri terhadap poligami dalam ajaran Islam, dan tidak juga dibenarkan adanya poligami itu hanya dalam Islam saja. Namun, pristiwa ini sudah dikenal dan dipraktikkan oleh masyarakat sebelum Islam dan di luar Islam, praktik poligami ini dibenarkan juga adanya dalam agama-agama Samawi atau Ibrahimi. Kemudian, Islam datang untuk meletakkan dan menjelaskan lebih detail lagi prinsip-prinsip dasar, peraturan-peraturan, dan syarat-syarat dari praktik poligami itu sendiri. Abduttawab Haikal mengatakan dalam tulisannya yang diberi judul Rahasia Perkawinan Rasulullah s.a.w. menjelaskan bahwa:
“Islam bukanlah agama pertama yang melegitimasi poligami, karena sejarah membuktikan bahwa poligami itu sudah umum dilakukan sebelum Islam datang, hal ini tercermin pada beberapa suku bangsa sebelum Islam, seperti pada bangsa Ebre dan Arab pada zaman Jahiliah, suku bangsa Salafiun yaitu negara-negara yang sekarang menjadi Rusia, Letonia, Lesonia, Austonia, Bulunia, Cekoslowakia dan Yugoslowakia. Dan juga pada sebagian bangsa Jerman dan Saxtion yakni Almania, Nomasa, Swiss, Belgia, Holand, Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris. Kebiasaan berpoligami juga dipraktikkan oleh negara-negara Afrika, India, Cina dan Jepang, dan poligami ini berkembang secara pesat.”[8] 

Pada masyarakat terdahulu pandangan terhadap sistem nilai sosial berhubungan dengan poligami hampir tidak ada yang tidak memperbolehkannya, baik secara norma agama maupun norma-norma sosial lainnya. Dalam agama kristen misalnya, pada dasarnya tidak melarang poligami. Karena larangan itu tidak ditemukan dalam Injil maupun surat-surat para Rasul yang dikenal dengan kitab perjanjian baru. Kitab Taurat (perjanjian baru) malah memperbolehkan poligami tanpa batas. Pada bangsa Israil sebelum Nabi Isa diutus, Musa mewajibkan seorang untuk mengawini  janda saudara lelakinya sendiri yang meninggal dan tidak mempunyai anak. Waster Marx, seorang sejarawan terkemuka dalam perkawinan berkata: “bahwa poligami yang diakui Gereja masih ada sampai abad ke-17 M bahkan banyak terjadi poligami yang tidak tercatan di Greja maupun di Pemerintahan. Lebih dari itu sebagian sekte Kristen ada yang pindah tempat hanya untuk berpoligami. Pada tahun 1531 M, di Monster terdapat sekelompok orang yang berteriak-teriak, menganjurkan agar penganut Kristen berpoligami.”[9]
Dikatakan bahwa tidak ada hubungan antara poligami dengan keterbelakangan budaya, karena sejarah membuktikan bahwa kebiasaan poligami hanya ditemukan pada masyarakat yang berkebudayaan tinggi. beberapa Sosiologi dan Antropolog, diantaranya Waster Marx, Hobes, Heler dan Jhon Robert, dalam penelitiannya menemukan bahwa perkawinan yang monogamis sangat menonjol pada masyarakat primitif yang terbelakang, yaitu masyarakat yang terganrung pada kebaikan alam, dengan berburu atau memakan buah-buahan yang ada secara alamiah.[10] Plato pada abad 3 SM ketika itu Athena telah dikuasai oleh tentara Sparta stelah kalah dalam perang Peloponesos, dalam konsep kolektivisme dan komunismenya tentang konsep negara, inti dari gagasannya adalah tentang anti Individualisme, yang mengatakan bahwa Uang, Anak, dan Wanita adalah milik bersama, milik negara. Negara ideal Plato tidak mengenal lembaga perkawinan, sehingga tidak seorang pun berhak memiliki seorang istri, istri harus milik kolektif, hubungan seksual tidak boleh dilakukan dengan sistem monogam melainkan poligam.[11] Sehingga tidak bisa diidentikkan poligami dalam Islam dengan kebudayaan yang primitif, karena Islam memiliki Syari’at dan ajaran yang sangat bijaksana dan modern dalam poligami, serta membuka ruang dialog dengan pengetahuan dan pradaban penganutnya.

C.    Poligami Perspektif Mazhab Ja’fari dan Mazhab Hanafi
Perlu kiranya untuk diketahui mazhab yang dianut oleh masyarakat Irak, sebelum membahas lebih lanjut tentang praktik poligami di Irak. Seperti yang telah dikatan bahwa masyarakat Irak terdiri dari tiga golongan masyarakat Islam yang mendominasi, yakni kalangan Syi’i, Sunni, dan Kurdi Sunni. Masyarakat Irak yang alirannya Syi’i kebanyakan berpengangan kepada Mazhab Ja’fari, sedangkan masyarakatnya yang golongan Sunni kebanyakan yang bermazhab Hanafi.[12]  Kemudian dikatakan bahwa saan ini penduduk Irak mencapai 26 juta jiwa dengan komposisi mayiritas berbangsa Arab (75-85%), minoritas Kurdi (15-20%), Turki, Parsi, dan sebagaian kecil Armenia (5%). Dari segi agama, Islam Syi’ah (60-65%), Islam Sunni (32-37%), dan 3% agama minoritas lain seperti Nasrani. Dalam tatanan politik, secara geografis penduduk Irak terpisah berdasarkan perbedaan. Sebagaian besar Suku Kurdi tinggal di Irak Utara, kaum Sunni tinggal di Irak Tengah, dan Syi’ah tinggal di Irak Selatan.[13]
Secara spesifik Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafiah) tidak memberikan penjelasan yang secara khusus tentang poligami ini. Namun, bukan berarti mazhab hanafi tidak mau tau masalah poligami ini, beberapa tokoh Hanafiah memberikan perhatian terhadap poligami ini. Hal ini terepleksi oleh seorang ulama Hanafiah yang bernama al-Sarakhsi (w.483/1090) dalam kitab al-mabsuth-nya, menjelaskan bahwa, bagi seorang suami yang berpoligami harus berlaku adil terhadap Istrinya. Kemudian, Al-Kasani (w. 587/1191) juga dari mazhab Hanafi, menulis tentang kewajiban suami yang poligami, dia mengatakan bahwa suami yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya, dan mendapatkan perlakuan adil dari semai tersebut merupakan hak bagi seorang istri.[14] Dalam pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa mazhab Hanafiah pada dasarnya membolehkan poligami dengan syarat bahwa seorang suami yang melakukan poligami wajib berlaku adil kepada istri-istrinya yang dipoligami, dan perlakuan adil dari suami tersebut merupakan hak bagi seorang istri yang dipoligami. Nampaknya mazhab Hanafi tidak memberikan pembatasan kuantitatif dalam renah poligami, tetapi sepertinya mazhab Hanafi memberikan batasan yang kualitatif hanya pada suami yang berpoligami, baginya adalah sejauh mana seorang suami yang berpoligami berlaku adil.
Salah satu mazhab Syi’ah yang terdekat dengan Sunni adalah Syi’ah Imamiah atau Ja’fariyah perbedaan di antara keduanya hanya pada kewajiban beriman yang menurut mereka harus maksum, memegang nash sebagai sumber hukum dan kemudian menggunanakan akal sebagai alat berijtihad yang tidak pernah tertutup. Dasar tasyri’ mazhab ini adalah al-Qur’an, Sunnah, dan Ijmak yang disetujui oleh ulama dan dibenarkan oleh imam yang maksum. Mengenai Sunnah mereka hanya menerima hadis-hadis yang perawi atau sanadnya kepada ahli al-Bait. Mazhab ini membolehkan adanya nikah Mut’ah, wajib menghadirkan saksi ketika menjatuhkan talak, tidak boleh menikahi wanita Kitabiyah dan dalam warisan lebih mendahulukan anak paman seibu atas paman sebapak.[15]
Abu zahrah dalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah mengatakan bahwa, beberapa orang-orang syi’ah mengatakan bahwa poligami itu harus dipahami seperti perbuatan Nabi dalam ketika berpoligami. Poligami yang dipraktikkan oleh Nabi adalah sampai dengan sembilan wanita, sehingga dalam memahami ayat yang mengatakan, dua, tiga, dan empat itu adalah harus dipahami secara jamak. Sehingga akan didapatkan kalkulasinya menjadi sembilan. Yang lebih ekstrimnya lagi adalah pendapat Syi’ah Zaidiyah yang mengatakan bahwa, dalam memahami ayat itu adalah harus dengan pemahaman jamak, dalam arti bahwa dua diartikan seperti dua dua, tiga diartikan seperti tiga tiga, dan empat ditafsirkan seprti empat-empat. Sehingga keseluruhannya jika dikalkulasikan akan menjadi 18 (delapan belas istri). Walaupun hal ini dibantah oleh al-Qurthubi dengan ungkapan bahwa, ini adalah perkataan yang sangat bodoh dan para ulama sepakat dalam mentafsirkan ayat ini adalah bahwa ayat ini menghendaki poligami sampai empat istri saja.[16]

D.    Poligami dalam perundang-undangan Irak
Peraturan perundang-undangan tentang poligami di Irak akan ditemukan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini adalah The Code of Personal Status And Supplementary Laws (1959-1984,) secara spesifikasinya tentang poligami akan didapatkan penjelasannya yang secara detail pada peraturan The Iraki Law of Personal Status (ILPS) tahun 1959.  jika diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia akan menjai kitab udang-undang hak pribadi dan hukum-hukum tambahan 1959-1984.[17] Sebelum penulis mengajak rekan-rekan pembaca untuk berwisata di Irak dengan mendiskusikan tentang perundang-undangan poligami yang diberlakukan di Irak, alangkah baiknya penulis mengajak sahabat-sahabat terlebih dahulu untuk berjalan-jalan dalam sejarah perjalanan perundang-undangan masyarakat Irak.
Pada abad 16 M, Irak sudah menjadi bagian Ottoman Empaire (Kerajaan Turki Usmani) selama dua ratus tahun, sejak tahun 1850 semua aturan civil termasuk aturan sipil pada tahun 1876 diterapkan juga di Irak. Hingga akhir priode Turki Usmani semua aturan sipil  dan hukum status personal diatur bedasarkan Syari’ah. Pada tahun 1917 dibentuknya pengadilan Syari’ah yang mengadili hanya kasus personal yang bercorak mazhab Sunni. Tahun 1918 dibentuklah Majlis Tamyiz Syar’i untuk meninjau ulang aturan-aturan yang dibuat oleh pengadilan Syari’ah Sunni, dan persoalan yang terkait dengan status privat untuk mazhab Ja’fari diterapkan oleh pengadilan sipil. Kemudian tahun 1922 pemerintah setempat memutuskan bahwa hukum sementara yang berlaku adalah seperti prosedur Syari’ah yang dibentuk oleh kerajaan Turki Usmani, undang-undang peradilan Syari’ah dibentuk kemudian pada tahun 1923, yang didalamnya bermazhab Ja’fari dan dibentuk juga dewa pengawas mazhab Ja’fari, lembaga ini membantu pembentukan The Basic Law pada tahun 1925. Kemudian tahun 1947 dibentuklah Comitte for Judicial Affirs yang menghasilkan satu Draf Code of Personal Status yang berisi tentang perkawinan, wasiat, dan warisan.[18]
Undang-undang hukum keluarga di Irak baru terlaksana pada tahun 1959 dimana peraturan ini merujuk pada prinsip-prinsip Syari’ah yang secara umum dapat diterima oleh negara-negara Muslim. Pada tahun 1947 dibuatlah Draf  Qanūn al-Ahwāl al-Syakhsiyyah (Law of Personal Status), ini dibuat kemudian tanpa melihat mazhab-mazhab fikih yang ada. Dari perjalanan proses kodifikasi hukum Irak di atas hasilnya membuahkan hasil perundang-undangan yang berlaku di Irak sekarang adalah undang-undang tahun 1959 (The Irak Law of Personal Status) Law No. 188/1959, kemudian diadakan perubahan-perubahan tahun 1963 (Law No. 11/1963) tambahannya pada ini adalah masalah waris, kemudian tahun 1978 (Law no. 21/1978) tambahannya adalah berhubungan dengan wanita dalam perkawinan dan perceraian, Covil Code 1957 Drafted by Abd al-Razzaq al-Sanhuri, Law No. 35/1977 garis besar petunjuk-petunjuk partai Sosialis Arab Ba’ath dan usaha-usaha perubahan Hukum, Law No. 78/1980 tentang kesejahtraan minoritas, Law No. 125/1981 tentang Liwath sebagai alasan perceraian, Law No. 77/1983 hak tempat tinggal istri yang dicerai, Law No. 5/1986 alasan perceraian karena mabuk-mabukan, dan Law No. 106/1987 tentang hak-hak pengasuhan.[19]
Poligami dalam perundang-undangan Irak memberikan ketentuan dan batasan-batasan bagi siapa saja masyarakat Irak yang akan melakukan Poligami. Aturan poligami dituangkan pada peraturan ILPS atau The Irak Law of Personal Status tahun 1959 dalam ketentuan pasal 3 ayat 4, 5 dan 6. Pasal-pasal ini mengatakan sebagai berikut:
Ayat 4, Marrying more than one woman is not allowed except with the authorization of the qadi (judge). Granting this authorization is dependant on the fulfillment of the following two conditions: poin pertama, The husband should have the financial capacity to provide for more than one wife. Poin kedua, There is a legitimate interest.
Ayat 5, If justice between wives is feared, polygamy may not be allowed. The issue would then be left to the judge’s determination.
Ayat 6, Each person who concludes a marriage contract with more than one wife, contrary to the stipulations of paragraphs 4 and 5, shall be sentenced to no more than one year of imprisonment or charged with a fine not exceeding 100 Dinars or both.[20]

 Dari pasal di atas, prof. Khairuddin Nasution memberikan penjelasan dengan mengatakan bahwa, poligami tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan Izin pengadilan, poligami tanpa izin hakim tidak sah. Sedangkan pengadilan hanya memberikan izin  kepada suami untuk poligami dengan ketentuan: pertama, Suami secara finansial mampu untuk berpoligami. kedua, Adanya kepentingan yang dibenarkan oleh hukum atau ada kemaslahatan. Ketiga, Adanya ketidak hawatiran bahwa suami mampu untuk berlaku adil kepada istri-istrinya. Keempat, kemampuan ekonomi suami memberikan nafkah. Kelima, poligami dapat menjadi alasan perceraian bagi istri. Pasal selanjutnya menegaskan bahwa, apabila dikhawatirkan suami tidak mampu atau tidak bisa berlaku adil, maka poligami tidak diizinkan. Adapun ketentuan berdasarkan fakta yang ada diserahkan sepenuhnya kepada hakim (qadi). Jikalau ada orang yang tidak tunduk dengan ketentuan atau aturan poligami yang sudah ditetapkan maka akan mendapatkan sangsi atau hukuman.  pada pasal 3 ayat 6 ILPS menjelaskan ketentuan tentang hukuman, setiap orang yang melanggar aturan ayat 4 dan 5, dapat dihukum dengan hukuman berupa penjara maksimal satu tahun atau denda sebanyak 100 dinar atau dengan kedua-duanya ketentaun itu, bagi mereka yang tidak tunduk terhadap aturan tersebut.[21]
Dalam perkembangan selanjutnya undang-undang tenang ketentuan poligami tanpa izin pengadilan merupakan perkawinan tidak sah dihapus atau diamandemen oleh undang-undang No. 11 Tahun 1963. Kemudian poligami menjadi dilarang terkecuali wanita yang dipoligami adalah seorang Janda. Aturan ini mungkin agak berbeda dengan negara-negara Muslim lainnya, model poligami di negara-negara Muslim lainnya paling tidak ditemukan adalah membolehkan poligami secara mutlak, melarang poligami secara mutlak, poligami harus dengan izin pengadilan, poligami dapat menjadi alasan perceraian, dan memberikan hukuman bagi mereka yang tidak taat dengan aturan poligami.[22] Suatu hal yang menarik dari perundang-undangan Irak adalah adanya pengecualian aturan untuk poligami dengan janda, yakni boleh poligami dengan janda tanpa mengikuti aturan yang berlaku. Ketentuan yang ditambah tahun 1980 ini, sebagai interpretasi terhadap ayat poligami, yang menurut ketentuan perundang-undangan  Irak, membolehkan poligami dengan tujuan untuk kemaslahatan anak yatim dan janda.[23] Peraturan tentang Code civil No.189 of the year 1980 ini hasil amandemen dari beberapa pasal yang ada di Personal Status Law No. 188 tahun 1959, seperti pasal 3 ayat 4 dan 5. ketentuan ini mengatakan:
Exception from the provisions of paragraphs 4 and 5 of this article: marriage to more than one woman is permissible when the prospective wife is a widow[24]

Melihat corak pengaturan poligami Irak diatas bahwa Irak pada dasarnya menganut sistem perkawinan yang monogami terbuka. Artinya bahwa masih adanya peluang untuk berpoligami dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang telah ditentukan secara legal, namun pada ketentuan-ketentaun yang lebih khusus menunjukkan bahwa perundangan Irak ingin mewujudkan perkawinan yang monogami murni, hal ini terepleksikan pada kenyataan bahwa adanya pelarangan terhadap poligami. Poligami yang diperbolehkan, tanpa mengikuti peraturan yang berlaku sedikitpun tentang peraturan poligami adalah berpoligami dengan seorang wanita yang sedang berstatus janda. Sehingga kebolehan berpoligami adalah upaya pemerintah Irak dalam memahami ayat-ayat atau nash-nas yang berkaitan dengan poligami.[25]
Peraturan-peraturan tersebut tidak bisa terlepas dari gejolak politik yang ada di Negara Irak itu sendiri dimana peperangan yang sering terjadi, dalam perperangan tersebut dimungkinkan banyaknya kematian dari pihak suami yang ikut berperang atau juga terbunuh, sehingga dimungkinkan pula aturan ini sebagai upaya mengatasi persoalan sosial yang menyisakan banyaknya penderitaan terutama bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dan juga anak-anak yatim yang tidak ada tempat mereka berlingung dan berteduh. Terekam dalam sejarah bahwa Irak dibawah kekuasaan Saddam Husein, ada 3 (tiga) kali peperangan terjadi, yakni tahun 1980-1990, perang melawan Iran yang dipicu konflik perebutan daerah perbatasan. Tahun 1991 bulan Januari, perang melawan Kuwait yang didalangi dibawah pimpinan Amerika. Kemudian terakhir Maret 2003, perang melawan serangan Amerika dan Inggris dikarenakan bahwa Irak dicurigai memproduksi senjata pembunuh masal, walaupun hal ini cumen alasan Amerika dan Inggris untuk mewujudkan visi dan misi mereka untuk menjadikan Irak sebagai negara Demokratis, walaupun hal ini sampai sekarang tidak berhasil-berhasil visi dan misinya. Meskipun dilain pihak para pengamat politik Timur Tengah mengatakan bahwa Amerika memiliki rencana khusus dalam penyerangan Irak.[26]
E.     Poligami Perspektif Undang-Undang Indonesia
Dalam perundang-undangan Indonesia poligami diatur dalam undang-undang republik Indonesia No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang hukum perkawinan. Undang-undang perkawinan No.1 tahun 1974 menegaskan bahwa, perkawinan pada asasnya dalam suatu perkawinan  seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.[27] Pengkajian dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa undang-undang perkawinan Indonesia menghendaki bagi pemeluknya supaya menggigit dengan rahangnya tentang apa yang dicita-citakan oleh aturan perundang-undangan itu, bahwa pasal itu menghendaki asas monogami bagi perkawinan di Indonesia. Tetapi membuka kemungkinan poligami atas izin pengadilan dengan alasan istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri seperti mandul, dan dengan ketentuan bahwa poligami dibolehkan jikalau sudah mendapatkan izin dari istri yang pertama, dan dengan bukti bahwa ia mampu memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya dan ia mampu berlaku adil tanpa ada keraguan sedikit pun.[28]
Poligami diperbolehkan oleh undang-undang jika ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat dalam berpoligami sudah terpenuhi secara total, tanpa ada keraguan dan kekurangan dari ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah diberlakukan atau dilegalkan oleh hukum. Sedangkan standarisasi poligami yang diperbolehkan dalam undang-undang perkawinan Indonesia No. 1 tahun 1974 adalah tertuang di pasal 3 ayat 2, pasal 4 ayat 1 dan 2, pasal 5 ayat 1 dan 2. Pada ketentuan pasal 3 ayat 2 dikatakan bahwa, pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[29] Dalam ketentuan ini jelas dikatakan bahwa salah satu syarat untuk bisa berpoligami atau memiliki istri lebih dari seorang istri harus mendapatkan perizinan dari pengadilan atau hakim dengan ketentuan adalah bahwa harus sudah mendapatkan restu atau izin dari pihak-pihak yang terkait atau yang bersangkutan. jadi poligami yang tidak didasarkan oleh persetujuan pengadilan atau hakim dan pihak-pihak yang terkait, maka poligami itu tidak sah dan melanggar ketentuan konstitusi negara yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Pihak-pihak yang terkait yang dimaksudkan oleh pasal 3 ayat 2 UUP di atas adalah dijelaskan pada pasal 5 ayat 1 huruf a, b, dan c. Sedangkan bunyi dari huruf tersebut adalah adanya persetujuan dari istri; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka; dan adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.[30] Persetujuan yang dimaksudkan pada huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuan dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan.[31] Dalam proses pemberian izin pengadilan terhadap permohonan tersebut, kemudian Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang dalam memutus pembolehan izin poligami terhadap perkara yang diajukan, pada asasnya pengadilan agama bersifat pasif, maka ketika ada pengajuan izin poligami dari seorang laki-laki, maka pengadilan akan memproses dengan menerima pendaftaran lalu memanggil para pihak, yaitu sang pemohon, kemudian istri pertama (istri-istrinya) pemohon dan bakal calon istri yang akan dikawini, serta dua saksi yang akan dihadirkan dalam persidangan yang dibuka dan terbuka untuk umum.[32] Pengadilan akan mengizinkan poligami jikalau terpenuhi ketentuan dalam pasal 4 ayat 1 UUP kepada seorang suami yang ingin melakukan poligami adalah jika benar-benar istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; istri tidak dapat melahirkan keturunan.[33] Kemudian KHI memberikan persyaratan selanjutnya bahwa adanya persetujuan dari istri; adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka;[34] suami harus mampu berlaku adil  terhadap istri-istri dan anak-anaknya.[35]



BAB III
PENUTUP

A.    Analisis
Seperti yang telah penulis kemukakan pada bagian pendahuluan tentang sikap negara-negara Islam ketika melakukan kodifikasi hukum keluarga Islam menurut Prof. Khairuddin Nasution, secara umum tidak terlepas dari dua metode: pertama, Intra-doctrinal reform. Kedua, Extra-doctrinal reform. Kegiatan kodifikasi hukum keluarga Islam khususnya Indonesia dan Irak, seperti yang telah dipaparkan pada bagian pembahasan dalam makalah ini tentang corak perundang-undangan Indonesia dan Irak terhadap pasal-pasal poligami. Penulis dalam hal ini akan menganalisis aktifitas tersebut berdasarkan dua metode yang cukup dikenal oleh kalangan akademisi terhadap sikap negara-negara muslim yang telah melakukan kodifikasi atau unifikasi hukum terhadap perundang-undangan di negara Muslim, terutama pada hukum keluarga Islam, lebih spesifikasinya terhadap ketentuan-ketentuan atas pasal-pasal poligami.
Jika dilihat ketentuan perundang-undangan Irak tentang poligami yang melibatkan pasal 3 ayat 4, 5, dan 6. Pada Law Personal Status No. 188 of the year 1959. Bagi suami yang akan melakukan poligami, maka harus mendapatkan perizinan dari hakim atau pengadilan. tertuang ketentuan bahwa sang suami mampu secara finansial; adanya alasan maslahah; adanya kemampuan untuk berlaku adil; memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya; dan poligami bisa menjadi alasan perceraian. Jika dilihat dari huruf-huruf ini maka bisa dikatakan bahwa Irak menggunakan metode Extra-doctrinal reform karen sudah keluar dari pandangan para ulama mazhab atau sudah tidak lagi terikat dengan fiqih konvensional, namun lebih menggunakan reinterpretasi ulang terhadap nash-nash yang ada. Lebih-lebih terbukti lagi pada civil code No. 189 of the year 1980, pasal ini menentukan bahwa bagi warga Iraq yang ingin berpoligami dengan Janda, mereka terlepas dari peraturan-peraturan poligami yang ada. Tentu disini memiliki semangat penafsiran baru terhadap nash-nash baru dalam al-qur’an yang memiliki orientasi baru untuk melindungi para anak yatim dan para janda yang tidak ada tempat mereka berteduh.
Beda halnya dengan Indonesia yang sebagian pasal-pasalnya masih ada ruh-ruh mazhab atau pandangan-pandangan fiqih konvensional atau fiqih klasik, seperti misalnya yang didalam ketentuan pasal 55 KHI yang mengatakan bahwa seorang yang berpoligami terbatas hanya boleh sampai empat istri. Atau misalnya pada pasal 57 KHI dan pasal 4 UUP No. 1 tahun 1974 masih ada nuansa-nuansa fiqih klasik. Sehingga dalam konteks pasal ini Indonesia dalam kodifikasi hukumnya bisa dikatakan dalam renah Intra-doctrinal reform. Namun dalam pasal-pasal lain Indonesia dalam ketentuan poligaminya tidak bisa dikatakan sepenuhnya menganut metode Intra-doctrinal reform, konteks ini bisa dilihat pada pasal 56 KHI, dan pasal 3 ayat 2 UUP No. 1974 yang mengatakan bahwa poligami harus mendapatkan izin dari pengadilan atau hakim. Atau pasal 5, ayat 1 huruf a dan b UUP No. 1, 1974 dalam ketentuan pasal ini Indonesia menganut metode Extra-doctrinal reform.

B.     Kesimpulan
1.      pasal 3 ayat 4, 5, dan 6. Pada Law Personal Status No. 188 of the year 1959. Bagi suami yang akan melakukan poligami, maka harus mendapatkan perizinan dari hakim atau pengadilan. tertuang ketentuan bahwa sang suami mampu secara finansial; adanya alasan maslahah; adanya kemampuan untuk berlaku adil; memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya; dan poligami bisa menjadi alasan perceraian. Kemudian pasal ini diamandemen dengan ketentuan civil code No. 189 of the year 1980, pasal ini menentukan bahwa bagi warga Iraq yang ingin berpoligami dengan Janda, mereka terlepas dari peraturan-peraturan poligami yang ada.
2.      Persamaan dan perbedaan undang-undang Irak dan Indonesia.
a.       Persamaan undang-undang Indonesia dan Irak adalah terletak pada poligami yang dalam keadaan normal, dalam artai berpoligami dengan bujang, sama-sama harus mendapatkan perizinan dari hakim atau pengadilan. Poligami tanpa mendapatkan izin dari pengadilan, maka poligaminya tidak disahkan menurut hukum negara atau menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh negara, dan konsekuansinya harus mendapatkan hukuman atau sangsi seperti yang telah atur dalam perunadang-undangan yang ada.
b.      Sedangkan perbedaannya antara perundang-undangan Indonesia dengan Irak tentang pasal-pasal poligami adalah peraturan di Indonesia tidak ada pengklasifiksaian antara berpoligami dengan bujang maupun janda semua disamakan tanpa terkecuali. Berbeda halnya dengan di Irak berpoligami dengan seorang janda dengan bujangan dibedakan ketentuannya menurut hukum, hal ini berlaku mulai terbitnya peraturan civil code No. 189 of the year 1980. Sedangkan, berpoligami dengan bujang tetap berlaku peraturan yang semula dalam arti poligaminya tetap harus mendapatkan perizinan dari hakim atau pengadilan. Sebaliknya poligami dengan janda, semua ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan poligami sudah tidak mengikat lagi bagi pelaku poligami dengan janda. Seperti, izin dari pengadilan atau hakim.
  



DAFTAR PUSTAKA

Anshori, Abdul Ghafur., Hukum Perkawinan Islam perspektif Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press,2011).

Haikal, Abduttawab., Rahasia Perkawinan Rasulullah s.a.w. (Poligami dalam Islam vs Monogami Barat), Penerjemah Ilyas Ismail al-Sendany, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993).

Abu Azzahrah., al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Kaorō: Dār al-Fikr al-Adabī, 1969).

Ahmad Suhelmi., Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: PT SUN, 2001).

Rafiq, Choirul., Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga Modern, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009).

Hasan, M. Ali., Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996).

Nasution, Khairudddin, dkk., Hukum Perkawinan dan Warisan di dunia Muslim modern, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2012).
                                   
Nasution, Khairuddin., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan perbandingann hukum perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan ACAdeMIA, 2009).

__________________ ., pengantar dan pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2007).

Setiawati, Siti Mut’ah, dkk., Irak di bawah kekuasaan Amerika “dampaknya bagi stabilitas politik di Timur Tengah dan reaksi rakyat Indonesia”, (Yogyakarta: PPMTT Jurusan Ilmu Hukum Internasional UGM, 2004).

Yatim, Badri., Historiografi Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997).

Iraqi Law Personal Status No. 188 of the year 1959. dan Civil Code No. 189 of the year 1980.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. dan Kompilasi Hukum Islam



[1] Khairudddin Nasution, dkk., Hukum Perkawinan dan Warisan di dunia Muslim modern, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2012), hlm. 4.
[2] Khairuddin Nasution., pengantar dan pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2007), hlm 47.
[3] Khairuddin Nasution, dkk., hlm. 5
[4] Baca, Khairuddin Nasution, dkk., ed. Hukum Perkawinan dan Warisan di dunia Muslim modern, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2012), hlm. 7-8.
[5] Baca, Choirul Rafiq., ed. Sejarah Peradaban Islam dari masa Klasik hingga Modern, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2009), hlm. 87-93.
[6] Ibid., hlm. 113-155
[7] Badri Yatim., Historiografi Islam, (Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.73-74
[8] Abduttawab Haikal., Rahasia Perkawinan Rasulullah s.a.w. (Poligami dalam Islam vs Monogami Barat), Penerjemah Ilyas Ismail al-Sendany, (Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya, 1993), hlm.  48-49
[9] Ibid., hlm. 49-50
[10] Ibid., hlm. 52
[11] Ahmad Suhelmi., Pemikiran Politik Barat, (Jakarta: PT SUN, 2001), hlm. 39-40
[12] Khairuddin Nasution, dkk., 2002, hlm. 7
[13] Siti Mut’ah Setiawati, dkk., Irak di bawah kekuasaan Amerika “dampaknya bagi stabilitas politik di Timur Tengah dan reaksi rakyat Indonesia”, (Yogyakarta: PPMTT Jurusan Ilmu Hukum Internasional UGM, 2004), hlm. 37-38.
[14] Khairuddin Nasution., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan perbandingann hukum perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan ACAdeMIA, 2009), hlm. 259-260.
[15] M. Ali Hasan., Perbandingan Mazhab, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 242-243
[16] Abu Azzahrah., al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Kaorō: Dār al-Fikr al-Adabī, 1969), hlm 101
[17] Khairuddin Nasution, dkk., 2002, hlm. 5 dan 13.
[18] Baca, Khairuddin Nasution, dkk., ed. Hukum Perkawinan dan Warisan di dunia Muslim modern, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2012), hlm. 8-10
[19] Ibid., hlm. 10-12
[20] Law No. 188 of the year 1959, Personal Status Law, pasal 3 ayat 4-6
[21] Baca, Khairuddin Nasution., ed. Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan perbandingann hukum perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan ACAdeMIA, 2009), hlm.293. dan Baca juga, Khairuddin Nasution, dkk., ed. Hukum Perkawinan dan Warisan di dunia Muslim modern, (Yogyakarta: ACAdeMIA dan TAZZAFA, 2012), hlm. 13
[22] Khairuddin Nasution, dkk., 2012, hlm. 13-15
[23] Khairuddin Nasution., 2009, hlm. 294.
[24] Code Civil No.189 of year 1980.
[25] Khairuddin Nasution, dkk., 2012, hlm. 15.
[26] Ibid., hlm. 15. Dan Baca, Siti Mut’ah Setiawati, dkk., ed. Irak di bawah kekuasaan Amerika “dampaknya bagi stabilitas politik di Timur Tengah dan reaksi rakyat Indonesia”, (Yogyakarta: PPMTT Jurusan Ilmu Hukum Internasional UGM, 2004), hlm. 27-36
[27] Pasal 3 ayat 1, UUP No. 1 tahun 1974.
[28] Abdul Ghafur Anshori., Hukum Perkawinan Islam perspektif Fiqih dan Hukum Positif, (Yogyakarta: UII Press,2011), hlm. 205
[29] Pasal, 3 ayat 2, UUP No. 1 tahun 1974
[30] Pasal 5, ayat 1 huruf a, b, dan c, UUP No. 1 tahun 1974
[31] Abdul Ghafur Anshori., 2011, hlm. 207
[32] Ibid., hlm. 207-208
[33] Pasal, 4 ayat 2 UUP No.1 tahun 1974. Dan KHI pasal 57 buku I
[34] Pasal 58 KHI, buku I
[35] Pasal 55, huruf b, KHI.

Comments