(Studi pada
masa kolonialisme Belanda dan Reformasi
sampai terwujudnya
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974)
Makalah ini diajukan
guna memenuhi tugas dalam mata kuliah
Sejarah Sosial
Pemikiran Hukum Islam
Pengampu:
Prof. Drs. Akh
Minhaj, M.A., Ph.D.
Disusun Oleh:
Murdan
(1320310002)
HUKUM KELUARGA
PROGRAM PASCA
SARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Dari pergumulan sejarah diceritakan bahwa berlakunya sistem hukum Adat,
hukum Islam, dan hukum-hukum yang disahkan oleh pemerintahan Hindia Belanda
pada masa kolonialisme hingga terciptanya beberapa undang-undang pada masa
kemerdekaan Indonesia, hal ini tidak luput dari kontribusi para pemikir-pemikir
besar yang telah ikut serta memberikan kontribusi positifnya dalam formulasi
sistem hukum di Indonesia. mereka memberikan
perhatian yang spesial terhadap keabsahan hukum adat dan hukum Islam bagi
masyarakat pribumi, meskipun berangkat dari ini terjadi berbagai polimik
diantara mereka. Tetapi dari polimik itu yang patut untuk dicontohi adalah
bermunculannya berbagai macam teori-teori dari kalangan akademisi waktu itu,
ini terepleksi dari timbulnya beberapa teori, seperti teori Receptie in
Complexu yang diperkenalkan oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg
(1845-1927), ia seorang yang ahli dibidang hukum Islam yang pernah tinggal di
Indonesia pada tahun 1870-1887, Teori ini menyatakan bahwa bagi orang Islam
berlaku sepenuhnya hukum Islam, walaupun dalam pelaksanaannya terdapat
penyimpangan-penyimpangan. karena hukum Islam telah berlaku pada masyarakat
asli Indonesia sejak 1883 yang diperkuat dengan adanya Regeering Reglement,
dan hukum perkawinan dan kewarisan Islam dalam Compendium freijer tahun
1706.[1]
kemudian muncullah teori Receptie yang diperkenalkan oleh
Christian Snouck Hurgronje (1857-1936), kemudian dikembangkan oleh C. Van
Vollenhoven dan Ter Haar. Snouck Hurgronje sendiri dikenal sebagai penasihat
pemerintah Hindia Belanda tentang soal-soal Islam dan anak negeri tahun 1898.
Ia pernah belajar ke Makkah sehingga berganti namanya menjadi Abdul Ghaffur
(1884-1885), Keahliannya dalam hukum Islam dan hukum adat, terepleksi dalam
karyanya De Atjehers dan De Gojoand. Inti dari teorinya adalah
bagi masyarakat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat, dan hukum Islam akan
berlaku apabila norma-norma hukum Islam telah diterima atau diserap oleh
masyarakat hukum adat. Teori ini muncul untuk mengkritisi atas teori Receptie
in Complexsu-nya van den Berg. kemudian timbullah teori Receptie Exit yang
diperkenalkan oleh Hazairin untuk membantah teori Receptie Snouck,
menurut torinya ini ia mengatakan bahwa Hukum Islam adalah hukum yang mandiri
dan lepas dari pengaruh hukum lainnya, sebagaimana ia menghubungkannya dengan
sumber dan metode hukum Islam. dan terakhir munculnya teori Receptie a
Contrario yang dimunculkan oleh Sayuti Thalib merupakan pengembangan dari
teori Receptie Exit dan menegaskan atas teori Receptie adalah
teori Iblis. Inti dari teorinya Sayuti adalah bagi orang Islam berlaku hukum
Islam; hukum Islam berlaku sesuai dengan cita hukum, cita moral dan batin umat Islam;
dan hukum Adat berlaku jika sesuai dengan hukum Islam.[2]
Telaah hukum dalam perspektif kesejarahan tidak saja melihat hukum
dari sudut perkembangan, tetapi juga memahami hukum yang ada pada saat tertentu
sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan sejarah dan kita perlu melihatnya dalam
kerangka konsep budaya yang berubah-ubah. Aliran sejarah hukum melihat hukum
suatu bangsa sebagai suatu unikum, dan oleh karenanya senantiasa hukum yang
satu berbeda dari hukum yang lain. Perbedaan itu terletak pada karaktristik
pertumbuhan yang dialami oleh masing-masing sistem hukum. Jika dikatakan hukum
itu tumbuh, itu berarti ada hubungan yang terus menerus antara sistem yang sekarang
dengan yang lalu.[3]
B.
Pokok
Permasalahan
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, karena makalah
ini akan menggunakan pendekatan sejarah dalam melihat perjalanan hukum
perkawinan Islam di Indonesia. Maka, pokok bahasan pada makalah ini adalah: pertama,
bagaimana legitimasi hukum perkawinan Islam pada masa kolonialisme,?. Kedua,
Bagaimanakah hukum perkawinan Islam pada masa kemerdekaan,?.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Masa
Kolonialis Belanda
Hasil
dari penjajahan kolonialis Belanda telah mengusik keharmonisan sistem hukum
yang dianut oleh penduduk pribumi, berupa hukum yang hidup ditengah-tengah
masyarakat (Living Law) atau berupa Hukum Adat (customary law),
maupun Hukum Islam. Kehadiran para kolonialis inilah yang mengakibatkan
terjadinya pluralitas sistem hukum yang dianut oleh masyarakat pribumi yang
dikuasai oleh pemerintahan kolonialis Belanda, hingga diberlakukanlah sistem
Hukum Adat, Hukum Islam, dan sistem Hukum Belanda atau sering disebut sebagai Hukum
Barat berupa hukum sipil (civil law).[4]
Kemudian, pemerintahan Hindia Belanda dalam menjalankan roda kekuasaannya
mereka memanfaatkan beberapa macam instruksi Gubernur Jenderal yang ditujukan
kepada para Bupati, khususnya disebelah utara pantai Jawa, yang intinnya adalah
agar memberi kesempatan kepada para ulama untuk menyelesaikan perselisihan
perdata di kalangan penduduk menurut ajaran Islam. Bahkan, konon keputusan Raja
Belanda (Koninkelijk Besluit) No. 19 tanggal 24 Januari1882 yang
kemudian diumumkan dalam Staatsblad tahun 1882 No. 152 tentang
pembentukan Pristerraad (Pengadilan Agama), walaupun hal ini didasarkan
atas pengaruh dari teori Van den Berg yang menganut paham receptio in
complexu, yang berarti bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat pribumi
adalah hukum agama yang dipeluknya.[5]
Namun, peradilan-peradilan di atas mendapat ujian dari masyarakat
pribumi sendiri yang berada di beberapa daerah di luar Jawa yang masih mempunyai peradilan asli
di daerah-daerah tertentu. sehingga dalam renah pidana peraturan yang berupa Wetboek
van Strafrecht tidak diberlakukan pada daerah tersebut, hanyan saja ada
rangkaian pasal-pasal yang oleh undang-undang tahun 1932 No. 80 dinyatakan
berlaku. Dalam bidang keperdataan permasalahan di atas juga menjadi ancaman
yang serius bagi peraturan perundang-undang yang dibangun pada masa
pemerintahan hindia belanda, sehingga, muncullah beberapa keputusan atau
peraturan baru dari pemerintahan Hindia Belanda, yakni:[6]
1.
Hukum
yang berlaku untuk semua penduduk, misalnya Undang-Undang Hak Pengarang
undang-undang milik perindustrian, dan lain sebagainya.
2.
Hukum
Adat yang berlaku untuk semua orang asli Indonesia.
3.
Hukum
Islam untuk semua orang Indonesia asli yang beragama Islam, mengenai beberapa
bidang kehidupan mereka, meskipun resmi (menurut pasal 131 I.S.) berlakunya hukum
ini adalah sebagai hukum adat yang untuk bidang-bidang tersebut menganut hukum
Islam.
4.
Hukum
yang khusus diciptakan untuk orang
Indonesia asli, yang berupa undang-undang seperti undang-undang (ordonansi)
tentang maskapai andil Indonesia, undang-undang (ordonansi) perkawinan
orang Indonesia Kristen, dan lain sebagainya.
5.
Burgerlijk
Werboek van Koophandel, yang
diperuntukkan mula-mula bagi orang Eropa, kemudian dinyatakan berlaku untuk
orang Tionghoa, sedangkan beberpa bagian (terutama dari W.v.K.) juga telah
dinyatakan berlaku untuk orang Indonesia asli, misalnnya hukum perkapalan
(hukum laut).
Pada
masa penjajahan Belanda tidak ditemukan rujukan hukum yang khusus untuk
menanggapi perkara perkawinan dalam Islam atau kodifikasi Hukum Islam dalam
renah perkawinan untuk menyelesaikan kasus-kasus perkawianan ketika berperkara
di pengadilan agama, namun yang digunakan adalah hanya kitab-kitab fikih
klasik atau ajaran-ajaran Islam yang
ditulis oleh ulama tertentu pada masa lalu. Seperti yang telah dikatakan di
atas bahwa hukum Islam berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam dan diberi
kewenangan khusus kepada para ulama untuk menyelesaikan perkara perkawinan
sesusai ajaran Islam itu sendiri.[7]
Namun, bukan berarti pada masa ini tidak ada undang-undang perkawinan yang
berlaku, pemerintahan hindia belanda menggunakan Compendium Freijer
dalam aturan-aturan hukum perkawinan dan hukum waris menurut Islam. Kitab ini
ditetapkan pada tanggal 25 Mei 1760 untuk dipakai oleh pengadilan Persatuan
Kompeni Belanda di Hindia Timur (V.O.C), atas usul Residen Cirebon, Mr. P.C
Hasselaar (1757-1765) kemudian dibuatlah kitab Tjicebonshe Rechtsboek.
Sementara untuk Landraad (sekarang pengadilan umum) di Semarang tahun
1750 dibuat Compendium tersendiri, di Makassar juga oleh V.O.C
diberlakukan Compendium sendiri. Perkara ini diperkuat dengan sepucuk surat
V.O.C pada tahun 1808, yang isinya agar penghulu Islam harus dibiarkan sendiri
mengurus perkara perkawinan dan warisan.[8]
Masalah
pengebirian hukum Islam pada masa pemerintahan Hindia Belanda ada yang
berpendapat bahwa sejak lahirnya Stbl 1820 No.24 pasal 13 yang diperjelas dalam
Stbl 1835 No.58 yang berisi sebagai berikut: apabila terjadi sengketa antara
orang-orang Jawa satu sama lain mengenai soal-soal perkawinan, pembagian harta
dan sengketa-sengketa yang sejenis yang harus diputus menurut Hukum Islam, maka
pendeta memberi putusan, tetapi gugatan untuk mendapat pembayaran yang timbul
dari keputusan para pendeta itu haruslah diajukan kepada pengadilan-pengadilan
biasa. Pada perkembangan berikutnya muncul Stbl 1882 No.152 tentang pembentukan
peradilan Agama di Jawa dan Madura, dengan nama Priesterrad. Dengan
lahirnya Stbl ini juga dapat diartikan bahwa pemerintahan Hindia Belanda masih
mengakui keberadaan Hukum Islam dan dijadikan dasar dalam menyelesaikan
masalah-masalah di kalangan orang Islam. Ada juga yang berpendapat bahwa
pengebirian terjadi sejak tanggal 3 Agustus 1828, dengan dicabut berlakunya Compendium
Freijer, sebab dengan pencabutan itu secara tekstual, hukum perkawinan yang
berlaku adalah hukum adat, keculai orang-orang kristen, berlaku undang-undang
kristen Jawa, Minahasa dan Ambon. Ada juga yang berpendapat pengebirian terjadi
sejak diberlakukan pasal 134 ayat 2 I.S. (Indische Staatsregeling) tahun
1919, yang intinya adalah perkara antara orang Islam diadili oleh Pengadilan
Agama Islam apabila keadaan itu sudah diterima oleh hukum adat mereka. Sejauh
tidak ditentukan oleh ordonansi I.S. (Indische Staatsregeling).[9]
Belanda masuk ke Indonesia
pada tahun 1596 melalui Verenigde
Oost Indische Compagnie (VOC), kebijakan yang telah dilaksanakan
oleh para sultan tetap dipertahankan pada daerah-derah kekuasaanya sehingga
kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu
diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Bahkan dalam banyak hal VOC memberikan
kemudahan dan fasilitas agar hukum Islam dapat terus berkembang sebagaimana
mestinya. Bentuk-bentuk kemudahan yang diberikan oleh VOC adalah menerbitkan
buku-buku hukum Islam untuk menjadi pegangan para Hakim Peradilan Agama dalam
memutus perkara. Adapun kitab-kitab yang diterbitkan adalah “al-Muharrar”
di Semarang, “Shirathal Mustaqim” yang ditulis oleh Nuruddin ar-Raniry
di Kota Raja Aceh dan kitab ini diberi syarah oleh Syekh Arsyad al-Banjary
dengan judul “Sabilul al-Muhtadin” yang diperuntukkan untuk para
Hakim di Kerapatan Kadi di Banjar Masin,
kemudian kitab “Sajirat al-Hukmu”
yang digunakan oleh Mahkamah Syar’iyah di Kesultanan Demak, Jepara, Gresik dan
Mataram.[10] Terakhir VOC menghimpun hukum Islam yang
disebut dengan Compendium Freijer, mengikuti nama
penghimpunnya.[11]
Pada awalnya Belanda
melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum negaranya utuk
menyelesaikan masalah diantara mereka sendiri. Untuk lebih memantapkan
posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannya pada
hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Namun pada kenyataannya badan
peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya Belanda
membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat terus ber jalan,
sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan
Islam dalam masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya. [12]
Masa VOC
berakhir dengan masuknya Inggris pada tahun1800-1811. Setelah Inggris
menyerahkan kembali kekuasaannya kepada pemerintahan Belanda, pemerintah
kolonial Belanda kembali berupaya mengubah dan mengganti hukum di Indonesia
dengan hukum Belanda. Namun melihat kenyataan yang berkembang pada masyarakat
Indonesia, muncul pendapat dikalangan orang Belanda yang dipelopori oleh L.W.C.
Van Den Berg bahwa hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli adalah
undang-undang agama mereka, yaitu Islam. Teori ini kemudian terkenal dengan
nama teori “Recepcio in Complexu”
yang sejak tahun 1855 didukung oleh peraturan perundang-undangan Hindia Belanda
melalui pasal 75, 78 dan 109 RR 1854 (Stbl. 1855 No.2).[13] Dalam perjalanannya ternyata Cristian Snouck Hurgronje
tidak sependapat dengan teori ini, menurutnya hukum yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat Indonesia bukan hukum Islam, melainkan hukum adat.
Teori Hurgronje ini terkenal dengan nama teori “Receptie”.[14] Dampak dari teori ini, Pemerintah Kolonial Belanda tidak
lagi mengakui hukum Islam yang berlaku untuk masyarakat Indonesia, melainkan
hukum adatlah yang diakui. Dalam
Indesche Staatsregeling pasal 131 ayat 6 ditulis:
”sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis
di dalam undang-undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku yang sekarang
berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat”[15]
Dalam Indesche Staatsregeling (IS) pasal 131
ayat 2 ditulis; Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing, jika
ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah
peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk
Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan berlaku bagi
mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan. Kemudian dalam
ayat 4 disebutkan; ”Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang
mereka belum ditundukkan dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah,
diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.[16]
Pada Kongres Perempuan Indonesia I pada tanggal
22-25 Desember 1928 di Yogyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar
segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan
mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.[17] Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda
menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (Onwerpordonnantie
op de Ingeschrevern
Huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut:
Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu
pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang
diputuskan oleh hakim.[18]
Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan
orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis.
Namun,
rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi
ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Suara
perkumpulan-perkumpulan kaum Ibu yang setuju ternyata tidak cukup kuat hingga
rencana ordonansi tersebut tidak jadi dibicarakan dalam Volksraad (Dewan Rakyat).[19]
Sampai berakhirnya masa penjajahan, Pemerintah
Hindia Belanda tidak berhasil membuat undag-undang yang berisi hukum material
tentang perkawinan yang berlaku bagi seluruh bangsa Indonesia. Perturan hukum
materiil tentang perkawinan yang dibuat dan ditinggalkan oleh Pemerintah
Kolonial, hanyalah berupa perturan hukum perkawinan yang berlaku untuk
golongan-golongan tertentu yaitu : Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI) yang
berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen, Kitab
undang-undang Hukum Perdata (BW) yang berlaku bagi warga keturunan Eropa dan
Cina, kemudian peraturan perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau
GHR. [20]
B.
Masa
Sesudah Proklamasi Kemerdekaan
Untuk mengawali pembahasan
tentang Hukum Perkawinan Indonesia setelah masa Proklamasi, ada ungkapan yang
sangat menarik dari Kansil, dia mengatakan bahwa setiap negara yang merdeka dan
berdaulat harus mempunyai suatu Hukum Nasional yang baik dalam bidang kepidanaan
maupun dalam bidang keperdataan, mencerminkan kepribadian jiwa dan pandangan
hidup Bangsanya. Kalau Prnacis dapat menggunakan Code Civil yang menjadi
kebanggaannya. Swiss mempunyai Zivil Gezetzbuch yang juga terkenal. RRC
dan Philipina sudah mempunyai Code Civil juga. Maka bagaimana dengan
Indonesia, sampai dewasa ini belum juga dapat menunjukkan kepada tamu-tamu
asingnya Kitab Undang-Undang Nasional, baik dalam bidang kepidanaan maupun
dalam bidang keperdataan.[21] Prof.
A. Qodri mengatkan, memang harus diakui Indonesia setelah merdeka lebih dari
setengah abad belum mempunyai undang-undang yang menyeluruh yang berisi hukum
nasional yang asli produk bangsa ini, undang-undang yang ada masih berupa
peninggalan Belanda dengan beberapa tambal sulam produk lembaga Legislatif.[22]
Berangkat dari pemikiran
adanya tiga pilar penyangga hukum setelah era kemerdekaan, maka aparat penegak
hukum mulai dibenahi atau berbenah diri. Peraturan-peraturan hukum yang jelas
satu demi satu mulai dikeluarkan dan kesadaran hukum masyarakat terus dipacu.
Harus diakui bahwa ketiganya belum dapat dikatakan titik optimal, namun tidak
lagi berjalan di tempat. Ada dua macam aparat hukum yang tidak dapat diabaikan
keberadaannya, yaitu Kantor Urusan Agama dan Badan Peradilan Agama. PPN (Pegawai
Pencatat Perkawinan) adalah ibarat gerbang pertama pelaksanaan hukum perkawinan
dan perwakafan. PPN diberi tanggung jawab selaku pegawai pembuat akta ikrar
wakaf (PPAIW), lembaga ini berperan besar dalam membentuk keluarga muslim dan
ikut serta secara fisik dalam pembangunan nasional melalui lembaga perwakafan
dibidang pendidikan, sosial, dan keagamaan, sekaligus penyelamatan tanah-tanah
wakaf yang berjumlah ribuan hektar.[23]
Pada tanggal 3 Januari
1946 berdirilah Departemen Agama, Amrullah Ahmad mengatakan bahwa pada saat itu
Departemen Agama tidak sajak mengurusi agama Islam saja, tetapi mengurusi semua
agama yang diakui di negara ini. Pada tanggal 21 November 1946 ketika bangsa
Indonesia menghadapi Belanda yang bermaksud menjajah kembali bangsa ini,
seiring dengan realita ini juga dikeluarkan undang-undang tentang pencatatan
nikah, talak, dan rujuk, yaitu undang-undang No.22 tahun 1946. Sedianya,
undang-undang tersebut hendak diberlakukan diseluruh wilayah Republik
Indonesia. Namun, karena situasi belum memungkinkan, maka untuk sementara hanya
diberlakukan di Jawa dan Madura. Kemudian pada tahun 1954, dengan undang-undang
No. 32, diberlakukan di seluruh kawasan Indonesia. Apabila dicermati secara
eksplisit, sebenarnya undang-undang tersebut tidak hanya mengenai masalah
pencatatan saja, namun menegaskan bahwa: pertama, PPN harus mengawasi
nikah yang dilakukan menurut hukum Islam; dan mencatat nikah, talak dan talak
yang diberitahukan kepadanya. Mengawasi yang dimaksud dalam undang-undang
tersebut yaitu, PPN harus hadir pada saat akad nikah dilangsungkan, lalu
mencatatnya; kedua, memeriksa ketika pihak-pihak yang bersangkutan
memberitahukan kehendaknya untuk menikah, apakah terdapat halangan atau
larangan baik menurut hukum Islam ataukah menurut undang-undang, maka dengan
alasan itu PPN dapat menolak pelaksanaan pernikahan itu. Untuk memperkuat
wewenang PPN sebagai penegak pernikahan apakah pernikahan itu boleh dilakukan
atau tidak, maka undang-undang perkawinan memperkuat pengaturannya dalam pasal
20 undang-undang perkawinan.[24]
Keadaan demikian rupanya mendapat perhatian
dari pemerintah Republik Indonesia, sehingga pada tahun 1946 atau tepatnya satu
tahun setelah kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia menetapkan
Undang-undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang
berlaku untuk daerah Jawa dan Madura, kemudian oleh Pemerintah Darurat RI di
Sumatera dinyatakan berlaku juga untuk Sumatera.[25]
Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama
No: 4 tahun 1947 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi
tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1946 juga berisi
tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur,
menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian
bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan
anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan
pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali. [26]Kemudian
pada tahun 1954 melalui undaang-undang No. 32 tahun 1954, UU No. 22 tahun 1946
tersebut dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam
Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan
menyusun rencana undang-undang perkawinan. Oleh karena desakan tersebut
akhirnya pemerintah RI, pada akhir tahun 1950 dengan Surat Perintah Menteri
Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklah Panitia Penyelidik
Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam.[27]
Panitia ini menyusun suatu Rancangan Undang-Undang Perkawinan yang dapat
menampung semua kenyataan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat pada
waktu itu. Karena keanggotaannya terdiri dari atas orang-orang yang dianggap
ahli mengenai hukum umum, hukum Islam dan Kristen dari berbagai aliran yang
diketuai oleh Tengku Hasan.[28]
Tahun 1952 akhir, panitia telah
membuat suatu Rancangan Undang- Undang Perkawinan yang terdiri atas peraturan
umum, yang berlaku untuk semua golongan dan agama dan peraturan-perraturan
khusus yang mengatur hal-hal yang mengenai golongan agama masing-masing.
Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1952 panitia menyampaikan Rancangan
Undang-Undang Perkawinan Umum kepada semua organisasi pusat dan lokal dengan
permintaan supaya masing-masing memberikan pendapat atau pandangannya tentang
soal-soal tersebut paling akhir pada tanggal 1 Februari 1953.[29]
Rancangan yang dimajukan itu selain berusaha kearah kodifikasi dan unifikasi,
juga telah mencoba memperbaiki keadaan masyarakat dengan menetapkan antara lain
:
- Perkawinan harus didasarkan kemauan bulat
dari kedua belah pihak, untuk mencegah kawin paksaan ditetapkan
batas-batas umur 18 bagi laki-laki dan 15 bagi perempuan
- Suami isteri mempunyai hak dan kedudukan
yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama
dalam masyarakat.
- Poligami diizinkan bila diperbolehkan
oleh hukum agama yang berlaku bagi orang yang bersangkutan dan diatur
sedemikian hingga dapat memenuhi syarat keadilan;
- Harta bawaan dan harta yang diperoleh selama
perkawinan menjadi milik bersama;
- Perceraian diatur dengan keputusan
Pengadilan Negeri, berdasarkan alasan-alasan yang tertentu, mengenai talak
dan rujuk diatur dalam peraturan Hukum Islam;
- Kedudukan anak sah atau tidak, pengakuan
anak, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban orang tua
terhadap anak, pencabutan kekuasaan orang tua dan perwalian.[30]
Tanggal 24 April 1953 diadakan
hearing oleh Panitia
Nikah, Talak dan
Rujuk dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan, yang dalam
rapatnya bulan Mei 1953 Panitia memutuskan untuk
menyusun
Undang-Undang
Perkawinan menurut sistem yang berlaku :
- Undang-Undang Pokok yg berisi semua peraturan yang berlaku bagi umum bersama-sama
(uniform), dengan tidak menyinggung agama.
- Undang-Undang Organik, yang mengatur
soal
perkawinan
menurut agama masing-masing, yaitu bagi golongan Islam, Kristen Katolik, dan golongan Kristen Protestan;
- Undang-Undang untuk golongan netral,
yaitu yang tidak
termasuk
suatu golongan agama
agama.[31]
Tahun 1954 akhirnya
panitia telah berhasil
membuat Rancangan Undang- Undang
tentang
Perkawinan
Umat
Islam
yang
kemudian
disampaikan
oleh
Menteri Agama
kepada Kabinet akhir bulan September
1957 dengan penjelasan masih akan ada amandemen-amandemen yang
menyusul. Tetapi
sampai
permulaan tahun
1958 belum ada tindakan-tindakan apapun
dari
pemerintah mengenai soal undang-undang perkawinan itu.[32]
Pada tahun 1967 dan 1968
pemerintah menyampaikan dua buah rancangan undang-undang kepada DPRGR (DPR
Gotong Royong), RUU tentang pernikahan umut Islam dan RUU tentang pokok
perkawinan. Hal ini untuk merespon TAP MPRS No. XXVIII/MPRS?1966 yang
menyatakan dalam pasal 1 ayat 3 bahwa negara perlu diadkan UU tentang
perkawinan. Kedua RUU ini dibicarakan oleh DPRGR di tahun 1968, yang akhirnya
tidak mendapat persetujuan dari DPRGR berdasarkan keputusan tanggal 5 Januari
1968. Adapun alasan tidak dapat disahkannya, karena ada salah satu fraksi yang
menolak, dan dua fraksi yang absen, meskipun sejumlah 13 fraksi dapat
menerimanya. Kemudian pada awal tahun 1967, Mentri Agama KH. Moh. Dahlan,
mengajukan kembali RUU penikahan umat Islam untuk dibahas oleh dewan. Dalam waktu
yang hampir sama Departemen Kehakiman menyusun RUU tentang perkawinan yang
bersifat nasional dan berjiwa Pancasila dan disampaikan ke DPR pada September
1967, dengan maksud RUU dari Departemen Kehakiman sebagai RUU Pokok dan dari
Departemen Agama sebagai RUU Pelaksana. Rancangan ini kembali gagal disahkan,
sebab anggota DPR tidak bergairah membahas alasannya karena penyusunannya
didasarkan pada perbedaan pandangan. Akhirnya kerja keras membuatkan hasil,
pada tanggal 31 Juli 1973 pemerintah dapat menyiapkan RUU Perkawinan No. R.
02/PU/VII/1973 dan disampaikan kepada DPR yang terdiri dari 15 bab dan 73
pasal. Hasil ini tidak bisa dipisahkan dari partisipasi ISWI (Ikatan Sarjana
Wanita Indonesia) yang mendesak pemerintah pada tanggal 22 Pebruari 1972. RUU ini
mempunyai tujuan yakni, memberikan kepastian hukum bagi permasalahan perkawian,
sebab sebelumnya undang-undang bersifat Judge Made Law; memenuhi hak-hak kaum
wanita dan memenuhi harapannya; menciptakan undang-undang yang memenuhi
tuntunan zaman. Keterangan tentang RUU di sampaikan oleh Mentri Kehakiman Umar
Senoaji S.H. pada tanggal 30 Agustus 1973. Kemudian di jawab oleh Pemerintah
diberikan oeh Mentri Agama Mukti Ali pada tanggal 27 September 1973, dan hasil akhir
yang disahkan oleh DPR adalah terdiri dari 14 bab yang dibagi dalam 67 pasal.[33]
Namun, RUU ini tidak mulus
dalam perancangannya kontroversi terjadi di dalam maupun di luar gedung baik
secara perseorangan maupun organisai-organisasi. Protes yang besar-besaran
muncul dari organisasi Sarekat Istri Jakarta yang mengecam tentang pasal-pasal
yang melarang tentang poligami. Begitu juga dengan Ratna Sari sebagai ketua
Persatuan Muslim Indonesia (Permi) yang tidak setuju kalau poligami dianggap
merendahkan status wanita, dengan alasan
bahwa Islam membolehkan poligami, bukan menganjurkan. Demikian juga saat-saat
RUU di DPR sejumlah respon negatif muncul, baik melalui perseorangan maupun
organisai. Di antara kritik tersebut misalnya dapat dicatat pandangan Asmah
Sjahroni, wakil dari fraksi persatuan pembangunan (FPP), yang menyebut bahwa
RUU tersebut menjadi Indikasi pencabutan Hukum Perkawinan Adat dan Perkawian
Hukum Islam. Lebih dari itu sejumlah demonstran di jalanan dengan seruan Allahu
Akbar mengutuk rancangan itu sebagai perbuatan Sekular. Bahkan pada tanggal 27
September 1973 telah terjadi keributan di dalam gedung DPR. Awalnya para
mahasiswa ini hanya duduk-duduk di balkon memperhatikan jalannya sidang umum.
Akan tetapi, ketika Mentri Agama R.I. Mukti Ali ketika itu naik mimbar
menyampaikan pendiriannya mengenai rancangan tersebut, para mahasiswa mulai
berteriak-teriak. Karena sejumlah aparat keamanan tidak mampu membendung
keributan, maka sidang ditunda sewaktu Mukti Ali menyampaikan pidatonya.[34]
Demikian perjalanan hukum
perkawinan Indonesia walaupun penuh dengan kontroversi dan rintangan yang ada,
sehingga pada 2 Januari 1974 RUU ini disahkan oleh DPR RI. Namun, undang-undang
ini mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975, alasan yang
diberikan seperti tertulis dalam penjelasan umum Peraturan Pelaksanaannya (PP
No. 9 Tahun 1975). Karena untuk pelaksanaan peraturan ini perlu langkah-langkah
persiapan dan serangkaian petunjuk-petunjuk pelaksanaan dari beberapa
Departemen atau Instansi yang terkait.[35]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
hukum perkawinan Islam
pada era kolinialisme Belanda
a.
Seiring dengan masuknya penjajah ke Indonesia yang di
awali dengan VOC ternyata hukum perkawinan mengalami kemajuan, khususnya bagi
umat Islam pada masa itu, ditandai dengan VOC tetap meberlakukan hukum perkawinan
yang telah dibuat para penguasa kerajaan-kerajaan Islam bahkan VOC pada waktu
menerbitkan beberapa kitab-kitab karangan ulama Islam agar dijadikan pedoman
bagi para penghulu atau Hakim pada Mahkamah Syar’iyah atau Pengadilan Agama
dalam struktur masyarakat pada saat itu, hal ini berjalan selama 2 abad
pendudukan VOC di Nusantara.
b.
Setelah
masa VOC berakhir, maka pemerintahan Hindia Belanda menggantikannya. Pada masa
ini pemerintah colonial Belanda membuat beberapa hukum perkawinan yaitu : Bagi
orang-orang Indonesia asli berlaku hukum Adat, bagi orang-orang Indonesia asli
beragama Islam berlaku hukum perkawinan Islam, bagi orang-orang Indonesia asli
beragama Kristen berlaku Ordonansi Perkawinan Kristen (HOCI), bagi warga Negara
keturunan Eropa dan Cina berlaku Kitab
undang-undang Hukum Perdata (BW), bagi perkawinan campuran berlaku peraturan
perkawinan Campuran (Staatsblad 1898 No. 158) atau GHR. Sampai berakhirnya masa
penjajahan ternyata tidak satupun hukum perkawinan yang dapat mengayomi cita
hukum seluruh masyarakat di Indonesia
2.
Pada era reformasi atau
kemerdekaan Indonesia
a.
Setelah berakhirnya masa penjajahan atau setelah
kemerdekaan hukum perkawinan mendapat perhatian dari pemerintah, terkhusus bagi
umat Islam karena setahun setelah kemerdekaan tepatnya pada tahun 1946
pemerintah membuat peraturan perkawinan dengan menetapkan Undang-undang No. 22
Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang berlaku untuk daerah
Jawa dan Madura, yang pada akhirnya berdasarkan undaang-undang No. 32 tahun
1954 dinyatakan berlaku untuk nasional.
b.
Pada
tahun 1950, tepatnya pemerintahan orde lama mulai menggagas RUU perkawinan
nasioanal, karena Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah
meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang
perkawinan. RUU Gagasan pemerintah tersebut ternyata menuai banyak perdebatan
dari lapisan rakyat Indonesia yang akibatnya sampai tahun 1965 atau masa
berakhirnya rezim orde lama tersebut, hukum perkawinan nasional yang
dicita-citakan rakyat Indonesia tidak terwujud.
c.
Pada masa kemerdekaan selanjutnya keinginan untuk
mewujudkan UU perwakilan bangkit kembali, yang berujung dengan diajukannya RUU
perkawinan oleh Menteri Kehakiman sebagai perwakilan dari pemerintah ke DPR
pada tahun 1973 terlaksana. Meskipun demikian ternyata draft RUU tersebut
menuai banyak kecaman, terlebih dari kalangan umat Islam yang menilai RUU
tersebut banyak yang tidak sesuai dengan Hukum Islam. Dengan perjalanan yang
berliku dan perjuangan yang keras akhirnya pada tanggal 2 Januari 1974 RUU
perkawinan di sahkan menjadi Undang-undang.
.
DAFTAR PUSTAKA
Manan
Abdul., Aneka Masalah Hukum Perdata Islam
di Indonesia, (Jakarta :
Kencana, 2012).
Amrullah
Ahmad., dkk., Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996).
Rofiq Ahmad., Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2006).
Rosyadi
A. dan Rais Ahmad., Formalisasi Syari’at Islam dalam perspektif Tata Hukum
Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006).
Azizy,
A. Qodri., Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”, (Bandung:
Teraju, 2004).
Sosroatmodjo
Arso dan Aulawi A. Wait., Hukum Perkawinan di Indonesia,
(Jakarta: Bulan Bintang , 1975).
Habiburrahman.,
Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana,
2011).
Nasution,
Khairuddin., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan perbandingann
hukum perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan ACAdeMIA, 2009).
Subadyo,
Maria Ulfah., Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang
Perkawinan, (Jakarta: Yayasan Idayu, 1981).
Suwondo
Nani., Kedudukan
Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1992).
Subekti., Pokok-Pokok
Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Intermasa, 1987).
Syahuri
Taufiqurrahman., Legislasi Hukum
Perkawinan di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2013).
Jafizham T., Persintuhan
Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan : Mestika, 1977).
Tjok,
dkk., Hukum dan Kemajmukan Budaya, sumbangan karangan untuk menyambut hari
ulang tahun ke-70 T.O Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003).
[1]
Habiburrahman., Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm. 28. Baca juga, A. Rosyadi dan Rais Ahmad., ed. Formalisasi
Syari’at Islam dalam perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2006), hlm. 73-74.
[2] Habiburrahman.,
2011, hlm. 28-30, dan A. Rosyadi dan Rais Ahmad., 2006, hlm. 78
[3] Tjok, dkk., Hukum
dan Kemajmukan Budaya, sumbangan karangan untuk menyambut hari ulang tahun
ke-70 T.O Ihromi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), hlm. 126
[4] Baca, A. Qodri
Azizy., ed. Hukum Nasional “Elektisisme Hukum Islam dan Hukum Umum”, (Bandung:
Teraju, 2004), hlm. 137-139
[5] Amrullah
Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 55.
[6] A. Qodri
Azizy., Hukum Nasional, 2004, hlm. 140-141
[7] A. Rosyadi dan
Rais Ahmad., Formalisasi Syari’at Islam, 2006, hlm. 91
[8] Khairuddin
Nasution., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan perbandingann hukum
perkawinan di dunia Muslim, (Yogyakarta: TAZZAFA dan ACAdeMIA, 2009), hlm.
20-21.
[9] Ibid., hlm.
21-22.
[10]Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta :
Kencana, 2012), hlm. xii.
[11] Arso
Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bulan Bintang , 1975), hlm. 11.
[12] Ahmad Rofiq., Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2006), hlm. 49-50.
[13] Ibid, hlm. 52.
[14] Ibid, hlm. 54.
[15] Subekti., Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: PT.
Intermasa, 1987), hlm. 11.
[16] Ibid, hlm. 12.
[17] Maria Ulfah
Subadyo, Perjuangan
Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Yayasan Idayu,
1981), hlm. 9-10.
[18] Nani Suwondo, Kedudukan
Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1992), hlm. 77.
[19] Ibid, hlm. 85.
[20] Taufiqurrahman
Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan di
Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2013), hlm. 100.
[21] A. Qodri
Azizy., Hukum Nasional, 2004, hlm. 142.
[22] Ibid., hlm.
143.
[23] Amrullah
Ahmad, dkk., Dimensi Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional, 1996, hlm.
56-57
[24] Ibid., hlm.
57-58.
[27]Asro Soisroatmodjo, dan A. Wasit Aulawi, Hukum
Perkawinan Di Indonesia, (BulanBintang,
Jakarta, 1978), hlm. 9.
[29] Ibid, hal. 177.
[31] T. Jafizham, Persintuhan Hukum
di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan : Mestika, 1977), hlm. 180.
[33] Khairuddin
Nasution., Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia dan perbandingann hukum
perkawinan di dunia Muslim, 2009, hlm. 37-40.
[34] Ibid., hlm.
41-43
[35] Ibid., hlm.46
Comments