Oleh:
Agus Dedi Putrawan
A.
PENGANTAR.
Demokrasi rupanya sudah memenangkan dirinya dari
bentuk-bentuk pemerintahan. Sekarang sebagaian orang mengatakan diri mereka sebagai
seorang demokrat, demokrasi dengan
segala keutamaan-utamaannya menawarkan kesejahtraan, hidup rukun, serta
menawarkan aturan-aturan bermasyarakat yang ideal. Ia lahir bukan tanpa alasan, sebagaimana
kita ketahui dalam sejarah dunia francis perjuangan warga untuk menjungjung “Liberte, Fraternite, Egalite” itu
terwujud dalam alam yang mereka perjuangkan yaitu alam demokrasi. Demokrasi dengan hak asasi manusia dan
kesetaraan terkadang terasa berat ketika harus berhadapan dengan agama, ras, etnis, suku dalam suatu
masyarakat suatu negara.
Indonesia adalah negara kepulauan yang masih dalam
transisi demokrasi yang baru saja membebaskan dirinya dari rezim
totalitarianisme 1998. Di tahun-tahun terakhir ini berbagai masalah telah
melanda negara ini mulai dari kasus korupsi, kerusuhan antar agama, kerusuhan
suku dan etnis. Mayoritas penduduk
Indenesia beragama Islam, ia mempunyai
banyak sekali ormas diantaranya: NU, Muhammadiyah, NW, HTI, ICM, JIL dan
lain-lain.
Kultur Islam di Indonesia itu toleransi ramah, namun
sekarang justru terkesan mudah marah, mudah tersinggung.[1]
Spekulasi bemunculan dari berbagai kalangan, kita bisa melihat orang dapat
saling mencibir di jejaring sosial, baik itu Twitter maupun Facebook gara-gara
agama.[2] Yang
menarik dari perdebatan dari kedua jejaring sosial itu meski tampak kurang
ilmiah namun aktor-aktor didalamnya lah menyulut api konflik itu sendiri.
Islam di Indonesia kini dilihat dari dua tokoh besar
yaitu Gus Dur dan Abu Bakar Ba’asyir. Gus Dur yang mewakili umat Islam yang
anti kekerasan, toleransi beragama. Sedangkan Ba’asyir mewakili Islam garis
keras. Permasalahan bukan di situ saja,
Islam juga baru-baru ini tengah dilanda krisis toleransi se-agama, di Sampang,
Madura kita pernah mendengar kabar konflik Sunni dan Syi’ah menjadi berita
terpanas di pemberitaan Nasional baik di media massa maupun elektronik. Di
berbagai daerah kini kaum Ahmadiyah masih dalam lokalisasi dari pemerintah, Lombok,
NTB misalnya melokalisasi warga/kaum Ahmadiyah di Gili untuk menghindari korban
yang berjatuhan hingga suasana bisa dikatakan aman, meski kaum Ahmadiyah
beberapa kali menyesalkan kebijakan tersebut dengan alasan akses pendidikan
untuk anak-anak tidak tersedia di lokasi penampungan.
Inilah yang membuat berbagai wacana muncul tentang
penghapusan kolom agama di dalam Kartu Tanda Pengenal (KTP).
Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama, mendukung pengosongan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Sebab, kartu identitas diri serupa di seluruh negara juga tidak mencantumkan
agama di dalamnya. "Seluruh dunia begitu, di Malaysia juga tidak ada
KTP-nya yang menuliskan agama. Cuma di undang-undang kita pakai agama,"
kata Basuki di Balaikota, seperti dilansir situs berita Jakarta.[3]
Berbagai diskusi masalah ini dibahas di
kampus-kampus, jejaring sosial, media massa, dan diskusi
lepas di warung kopi, namun tak satupun dapat berkontribusi untuk kesimpulan
yang baik dan benar. Yang menjadi tembok pemikiran yang sulit ditembus adalah
pembahasan tentang penghapusan kolom di KTP adalah suatu hal yang sensitif,
satu pihak membolehkan dan pihak lain sebaliknya.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Dalam Perspektif Multikulturalisme Apa Problem
Perundang-Undangan Di Indonesia Terkait Agama Resmi? Apa solusi untuk Multikulturalisme Indonesia?
C.
PEMBAHASAN
R. Philip Buckly, dalam orasi ilmiahnya mengatakan:
“identitas tidak akan ada tanpa adanya perbedaan”ia menambahkan bahwa perbedaan
itu adalah suatu hal yang nyata di dalam kehidupan[4].
Identitas seorang anak dalam kehidupan bermasyarakat biasanya diperoleh dari
identitas orang tuanya. Misalnya, anak yang terlahir di Amerika yang ayah
ibunya merupakan keturunan Afrika akan diidentitaskan sebagai “Black”, hal yang
sama berlaku jika kedua orang tuanya berkulit kuning (Asia). Tidak hanya itu,
identitas terlahir dari suatu perbedaan yang di mana dalam perjalanan kehidupan
tak sedikit melahirkan konflik. Identitas itu bukan hanya sebatas warna kulit
akan tetapi mencakup keyakinan (agama), faham, suku, ras, bahasa, asal-usul
(negara) dan lain-lain. Dari identitas tersebut terlahirlah istilah pluralitas
kemudian multikultural.
Pluralitas dalam agama Islam, sikap menghargai dan toleran kepada
pemeluk agama lain adalah mutlak untuk dijalankan, itu merupakan bagian dari
keberagaman (pluralitas). Maka multikultural adalah tujuan untuk bermasyarakat,
bersosialisasi dan berinteraksi dengan menjunjung tinggi nilai toleransi sesuai
pancasila. Masyarakat Indonesia berinteraksi dengan acuan berbeda-beda.
Interaksi itu melibatkan timbal balik dua orang atau lebih, namun tak semua
acuan itu diaplikasikannya seperti agama, politik, ekonomi, dan kekerabatan.[5]
Pluralisme kultural di
Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia dan Singapura sebagaimana
dikemukakan Hefner (2001:4)[6]
sangat mencolok; terdapat hanya beberapa wilayah lain di dunia yang memiliki
pluralisme kultural seperti itu. Karena itulah dalam teori politik Barat
sepanjang dasawarsa 1930-an dan 1940-an, wilayah ini khususnya Indonesia dipandang
sebagai “lokus klasik” bagi konsep “masyarakat majemuk/plural” (plural society)
yang diperkenalkan ke dunia Barat oleh JS Furnival (1944, 1948).[7]
Problem Perundang-Undangan Di Indonesia Terkait Agama Resmi Dalam
Perspektif Multikultural.
Di alam demokrasi
Indonesia yang kita rasakan hari ini
masih terdapat intervensi agama tertentu dalam implementasi hukum di negara
ini. promblem penghambat kerukunan dalam
masyarakat ialah tidak tegaknya hukum yang sudah ada tersebut sehingga gesekan
agama mayoritas kepada minoritas seringkali terjadi. Di Amerika dan Francis
kita lihat promblem agama tidak pernah terjadi,
karena agama dan negara tidak duduk berdampingan sebagaimana sejarah
mereka dahulu. Abdullah Ahmed An’naim juga menggambarkan bagaimana kehidupan
beragama dalam negara sekuler begitu ideal dari pada selain itu.
Hambatan-hambatan yang kita temukan
dalam masyarakat kontemporer saat ini adalah Semakin meningkat kecenderungan umat beragama
untuk mengejar jumlah (kuantitas) pemeluk agama dalam menyebarkan agama dari
pada mengejar kualitas umat beragama. Kondisi sosial budaya masyarakat yang
membawa umat mudah melakukan otak-atik terhadap apa yang ia terima, sehingga
kerukunan dapat tercipta tetapi agama itu kehilangan arti, fungsi maupun
maknanya. Keinginan mendirikan rumah
ibadah tanpa memperhatikan jumlah pemeluk agama setempat sehingga menyinggung
perasaan umat beragama yang memang mayoritas di tempat itu. Menggunakan
mayoritas sebagai sarana penyelesaian sehingga akan menimbulkan masalah.
Misalnya, pemilikan dana dan fasilitas pendidikan untuk memaksakan kehendaknya
pada murid yang belajar. Makin bergesarnya pola hidup berdasarkan kekeluargaan
atau gotong royong ke arah kehidupan individualistis. Interfensi kaum mayoritas
terhadap minoritas atau sebaliknya yang munyulut api konflik yang merugikan
baik individu maupun masyarakat.
Pemerintah dituntut selalu sigap untuk
mengamankan (given safety society) kepada
kaum minoritas dan bukan untuk entervensi terlalu jauh dalam hal pembelaan
siapa yang salah dan siapa yang benar karena akan bertentangan dengan konsep
demokrasi.
Augie Fleras (2009: 17). mengajukan sedikitnya tiga macam tafsir multikulturalisme yang menjadi
model kebijakan beberapa pemerintahan:
Multikulturalisme
Konservatif
|
Multikulturalisme
Liberal
|
Multikulturalisme
Plural
|
·
Meyakini bahwa masyarakat yang terdiri
atas beragamekspresi budaya mungkin ada, selama perbedaan tersebutdiabaikan
dalam pengakuan dan penghargaan bagi setiap orang.
·
Keadilan yang sebenarnya hanya dapat
dicapai ketika semua orang diperlakukan setarater lepas dari latar belakang
budayanya.Sebab pada dasarnya semua orang sama dimata hukum.
|
·
Meyakini bahwa masyarakat dengan beragam
budaya mungkin ada selama perbedaan budaya ditoleransi, tapi secara umum
diabaikan.
·
Dalam aturan sehari-hari perbedaan budaya
diabaikan, tetapi jika ada kasus-kasus tertentu perbedaan budaya diakui
sebagai pengecualian.
|
·
Meyakini bahwa masyarakat dengan beragam
budaya mungkin ada, selama perbedaan tersebut dipertimbangkan serius dalam penentuan
kebijakan
·
Dalam model kebijakan ini, setiap kelompok
berhak mendapatkan perlakuan yang berbeda. Masing-masing dapat mengembangkan
kelompok dan institusinya sendiri sesuai dengan kebutuhan latar budayanya
masing-masing.*
|
*Sumber
: Fleras. The Politics Of Multiculturalism, New York: Palgrave Macmillan (2009:
17).
Apa Solusi untuk Multikulturalisme Indonesia
Acuan utama bagi terwujudnya
masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah
ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan, baik
secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996; Jary dan Jary 1991; Watson
2000).[8] Ideologi
multikulturalism tidak akan terwujud tanpa adanya kesadaran kolektif dari
seluruh rakyat Indonesia. Hambatan utama yang kita alami saat ini karena
kesadaran kolektif tidak akan terwujud apabila masyarakatnya buta akan
pendidikan, kunci kesadaran tersebut sebagaimana kesadaran kolektif Amerika dan
Francis kerena pendidikan. Tingkat pendidikan rakyat Indonesia jauh dibawah
kedua negara tesebut bahkan rakyat indonesia masih banyak yang buta huruf. Sekarang barulah kita menyadari karena
kebodohan multikultural sulit terwujud, perlu waktu berpuluh-puluh tahun agar
multikulturalime itu tegak seiring berhasilnya pementasan buta huruf di negeri
ini tercapai. Suparlan dalam tulisannya mengatakan:
Upaya
membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin terwujud bila (1) konsep
multikulturalisme menyebarluas dan dipahami pentingnya bagi bangsa Indonesia,
serta adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat nasional maupun lokal
untuk mengadopsi dan menjadi pedoman hidupnya; (2) kesamaan pemahaman di antara
para ahli mengenai makna multikulturalisme dan bangunan konsep-konsep yang
mendukungnya, dan (3) upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan
cita-cita ini.[9]
Tahun 2014 ini adalah
tahun pemilu, di mana nasib bangsa ini di tentukan di bilik suara nanti.
Seorang yang terpilih nanti bisa saja akan menentukan dapat tegaknya multikulturalisme itu, karena
kebijakan-kebijakan yang tegas, pro rakyat, pro kaum minoritas dan lain-lain.
Dapatlah kita berharap dan optimis akan negara indonesia yang plural ini
menjadi masyarakat yang multikultural yang tidak ada diskriminasi di
tengah-tengah masyarakat.
[1] Zuly Qodir, Makalah “ Seminar Pemikiran Muslim: Kaum Muda Islam
Dan Kepemimpinan Bangsa”. Rabu s/d Kamis, 18/19 – September- 2013. Di
Convention Hall, Kampus Uin Sunan Kalijaga
[2] Begitu banyak grup-grup di
facebook yang sengaja dibuat dan seolah menjadi fasilitas berdiskusi terkait
situasi yang sedang hangat dibicarakan di media, namun tak jarang diskusi tadi
berujung perdebatan panjang hingga satu pihak dengan pihak yang lain
menjustifikasi pihak lain yang berbeda agama dengannya (Kristus tidak disalib,
Islam vs Kristen, Kristen tak terbantahkan, diskusi antar Agama dan lain-lain),
banyak juga grup perdebadatan serupa namun bedanya adalah pemeluk agama Islam
namun faham yang berbeda-beda.
[4] Stadium General, pascasarjana
UIN Yogyakarta, (17, Desember, 2013).
[5] Zaenudin, Pluralisme Agama “Pergulatan Dialogis Islam-Kristen Di
Indonesia”(Malang: Uin-Maliki Press, 2010), h. 12
[6] Hefner, Robert W, 2001, “Introduction: Multiculturalism and
Citizenship in Malaysia, Singapore, and Indonesia”, dalam Robert W Hefner (ed),
2001, The Politics of Multiculturalism: Pluralism and Citizenship in Malaysia,
Singapore, and Indonesia, Honolulu: University of Hawai’i Press.
[7] Menurut Furnivall, “masyarakat
plural” adalah masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih unsur-unsur atau
tatanan-tatanan sosial yang hidup berdampingan, tetapi tidak bercampur dan
menyatu dalam satu unit politik tunggal (Furnivall 1944:446). Teori Furnivall
ini banyak berkaitan dengan realitas sosial politik Eropa yang relatif
“homogen”, tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, rasial, agama dan gender.
Berdasarkan kerangka sosial-kultural, politik dan pengalaman Eropa, Furnivall
memandang masyarakat-masyarakat plural Asia Tenggara, khususnya Indonesia, akan
terjerumus ke dalam anarki jika gagal menemukan formula federasi pluralis yang
memadai (Furnivall 1944:468-9).
[8] Parsudi
Suparlan, Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural ( Tulisan ini merupakan Keynote Address yang disajikan dalam Sesi Pleno I
pada Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-3: ‘Membangun
Kembali Indonesia yang Bhinneka Tunggal
Ika”: Menuju Masyarakat Multikultural’, Universitas Udayana, Denpasar, Bali,
16–19 Juli 2002.)
[9] Ibid.
Comments